Selasa, 10 April 2012

Potret Kehidupan Umat Beragama di Indonesia


Oleh : Adam Rumbaru
Direktur Eksekutif LAPD

Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “KeTuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Pada tahun 2010, kira-kira 85,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 9,2% Protestan, 3,5% Katolik, 1,8% Hindu, dan 0,4% Buddha. 

Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya". Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu

Dengan enam agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia.

Keragaman agama ternyata menimbulkan dilema tersendiri.  Di satu sisi, memberikan kontribusi positif untuk pembangunan bangsa. Namun di sisi lain keragaman agama dapat juga berpotensi  menjadi sumber konflik di kemudian hari. Konflik bisa saja terjadi. Penyebab konflik terkadang disebabkan adanya truth claim (klaim kebenaran). Namun yang paling banyak terjadi, konflik lebih dipicu oleh unsur-unsur yang tak berkaitan dengan ajaran agama sama sekali. Konflik sesungguhnya dipicu oleh persoalan ekonomi, sosial dan politik, yang selanjutnya di blow up menjadi konflik (ajaran) agama.
Kita percaya bahwa tidak ada satu agamapun di muka bumi ini yang mengajarkan umatnya untuk melakukan kekerasan dan permusuhan. Ajaran normatif kitab suci selalu mendendangkan kedamaian dan ketenteraman antar sesama umat beragama. Kendati demikian, tidak tertutup kemungkinan, penafsiran atau pemahaman pemeluk agama dapat menjadi pemicu terjadinya disharmonisasi antar pemeluk umat beragama. Seperti yang telah disebut di muka, truth claim dan doktrin keselamatan agama, kerap menjadi faktor munculnya disharmonisasi.

Dalam upaya membangun, menjaga dan mempertahankan kerukunan umat beragama, peran pemuka agama menjadi sangat penting.  Pertemuan tokoh-tokoh lintas agama untuk berdiskusi, bermusyawarah, bahkan dalam tingkat tertentu berdebat adalah wahana yang cukup positif untuk membangun kebersamaan dan saling memahami . Di satu sisi, tingginya intensitas pertemuan tokoh-tokoh lintas agama memberikan pengaruh positif . Namun di sisi lain, dialog yang dikembangkan ternyata hanya menyentuh kalangan elit agama. Di dalamnya tidak saja terbangun simpati tetapi juga empati. Sayangnya, apa yang terjadi pada level atas ternyata tidak menetes ke bawah. Pendek kata, dikalangan akar rumput tidak terbangun saling memahami ajaran masing-masing agama. Tetap saja masing-masing pemeluk bertahan pada keyakinannya sendiri dan menganggap ajaran orang lain salah. Untuk itulah diperlukan langkah-langkah yang lebih kreatif, segar dan baru, dalam rangka membangun kerukunan umat beragama.

Satu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi adalah kerukunan itu sebagai harga mati bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu, kerukunan harus terus dipertahankan kendatipun kejadian belakangan ini, kerusuhan dan amuk massa atas nama agama membuat banyak pihak pesimis. Bahkan ada yang mengatakan, kita berpotensi menjadi negara gagal karena tidak berhasil mengawal pluralitas.

Satu hal yang perlu diwaspadai, persoalan kerukunan umat beragama tidak selalu kasat mata. Tidak selamanya tampak jelas dipermukaan. Terkadang masalah kerukunan ini ibarat api dalam sekam. Kerukunan menyimpan sisi-sisi yang bersifat laten dan potensial. Ia bisa mencuat kepermukaan dan meledak, membakar apa yang ada disekitarnya sehingga sulit untuk dipadamkan. Dengan demikian, dibutuhkan kea`rifan untuk mengelola kerukunan umat beragamaini.

Dalam kontek inilah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: Pertama, kelangsungan kehidupan bangsa ini tidak hanya terpikulkan kepada penganut satu agama tertentu saja, akan tetapi tanggung jawab seluruh komponen bangsa Indonesia tanpa kecuali. Dan karena itu kesadaran terhadap prinsip egaliter di kalangan masyarakat perlu lebih dikembangkan. Kedua, masyarakat kita hendaknya dapat hidup rukun sekalipun mereka menganut agama dengan ajaran teologi yang berbeda karena dengan rukunnya masyarakat memberi peluang yang lebih besar bagi mereka untuk mengamalkan ajaran agamanya secara paripurna. Tetapi sebaliknya manakala mereka hidup dalam suasana penuh kecurigaan maka semakin kecil peluang mereka melaksanakan perintah agamanya secara baik. Ketiga, masyarakat hendaknya dapat disadarkan bahwa perbedaan itu tidak sama dengan permusuhan. Keempat, umat beragama hendaknya menyadari bahwa kebenaran praktis yang dimiliki setiap agama selalu memiliki misi universal dan tentunya berdimensi kemanusiaan (inklusif). Oleh karena itu, eksistensi sebuah agama pada dasarnya ditentukan bukan oleh kekuatan politik-birokrasi akan tetapi didasarkan pada sejauhmana kontribusinya kepada nilai-nilai universal kemanusiaan. Semakin besar sumbangan kemanusiaan yang diberikan suatu agama, maka dengan sendirinya semakin besar peluang memberi corak bagi perkembangan kemanusiaan dimasa depan.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Analisa Pengembangan Demokrasi. Mantan Ketua Umum Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam Himpunan Mahasiswa Islam (LDMI HMI) Cabang Ambon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.