Jumat, 22 Februari 2013

Masyarakat Perlu Dibekali Pendidikan Politik



            Oleh : Adam Rumbaru

Esensi terpenting dari pendidikan politik ( political education) adalah pendidikan kewarganegaraan (civic education) untuk mengetahui tugas dan tanggung jawab sebagai warga negara atau lebih tepat lagi disebut pendidikan politik adalah pendidikan demokrasi ( democracy  education), pendidikan yang mewujudkan masyarakat demokratis, yaitu masyarakat yang bebas (free society) yang hanya dibatasi oleh kebebasan itu sendiri, bukan masyarakat kolektivisme yang “terpasung” oleh atribut-atribut agama atau norma-norma budaya. Dalam kontek inilah diharapkan pendidikan politik mampu melahirkan budaya politik yang sehat, yang hingga pada akhirnya berhasil mewujudkan masyarakat demokratis yang bebas dari bias apapun.

Politik yang sehat tentu menjadi syarat utama dalam menghasilkan masyarakat demokratis tersebut. Sebab, tanpa berjalannya politik yang sehat maka tentu masyarakat demokratis atau demokrasi itu sendiri kehilangan arahnya sehingga muncullah kebebasan yang tidak terkontrol, yang pada akhirnya mencederai demokrasi itu sendiri. Di sini lah sebenarnya relevansinya pendidikan politik sebagai upaya penguatan terwujudnya masyarakat demokratis, tentu melihat ini dalam konteks demokrasi kita yang berjalan merupakan sebuah keniscayaan dalam upaya mereorientasi pendidikan politik yang telah atau sedang berlangsung.

Pendidikan politik memiliki peran yang vital dan strategis bagi kelangsungan hidup serta regenerasi suatu organisasi politik. Melalui proses pendidikan politik anggota suatu organisasi dan warga negara pada umumnya kemungkinan memiliki sikap yang idealis di satu sisi bersikap mendukung negara-pemerintah yang sesuai dengan aspirasi rakyat serta pada waktu yang sama juga memungkinkan memiliki sikap kritis kepada kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat.

Penegasan tentang urgensi pendidikan politik (political education) dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan politik merupakan penanaman nilai-nilai kebaikan, pengetahuan dan ketrampilan yang merupakan keniscayaan untuk dapat melakukan partisipasi politik menjadi kewajiban moral utama dari berbagai tujuan pendidikan publik dalam masyarakat demokratis. Pendidikan politik menyiapkan warga negara untuk terlibat menghasilkan kesadaran masyarakat mereka dan kesadaran untuk reproduksi sosial yang ideal bukan hanya sekedar pendidikan demokrasi tetapi juga demokrasi politik.

Terminologi pendidikan politik sering dibedakan dengan sosialisasi politik. Oleh karena itu kiranya penting diketengahkan terlebih dahulu pengertian pendidikan politik. Disamping political education dikenal juga terminology lain perlu diklarifikasi, yakni term political socialization dan political education adalah merupakan term yang berbeda.sosialisasi politik berkaitan dengan suatu proses dengan cara itu rakyat belajar mengambil norma-norma, nilai-nilai, sikap dan menerima tingkalaku dan prakteknya melalui sistem yang sedang berlaku, sosialisasi politik merujuk pada penguasaan individu-individu tentang budaya politik atau norma-norma untuk mengelola kewenangan mendistribusikan keuntungan dan kerugian. Tujuan yang dituju melalui proses tersebut adalah perkembangan individu-individu yang dapat menerima motivasi-motivasi, kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai yang relevan dengan sitem politik dari masyarakat mereka dan mewariskan norma-norma tersebut pada generasi penerusnya.

Perbedaan makna antara potical socialization dan political education sebagaimana dikemukakan di atas memiliki implikasi pengembangan kurikulum dan desain pembelajaran, letak perbedaannya adalah bahwa mahasiswa yang mempelajari sosialisasi politik memiliki perhatian utama berkaitan dengan persoalan pemeliharaan system politik, terkait dengan pewarisan politik, mereka mempertanyakan bagaimana individu-individu belajar untuk mendukung status quo sosial politik. Pendidikan politik memiliki perhatian yang lebih luas.

Potret politik Indonesia di era reformasi banyak nama calon pemimpin disebut dan bahkan mengikuti pemilihan umum. Dari sisi politik yang demokratis tentu fenomena ini menarik perhatian yang tidak kita temukan masa orde baru dahulu. Namun, sayangnya, masyarakat kita sangat mudah terhipnotis dengan pesona gaya dari pada kualitas sang calon yang digadang-gadang itu.

Dalam situasi seperti ini apabila ada pejabat kita yang "menang gaya" dan diliput luas media massa maka dengan mudah beliau ini mendapat simpati rakyat serta dengan sangat mudahnya sang pejabat ini akan didapuk oleh publik untuk dijadikan calon pemimpin berikutnya. Situasi seperti ini sungguh "berbahaya" bagi bangsa ini dalam memperoleh calon pemimpin bangsa yang berkualitas.

Kita menyaksikan sendiri betapa mudahnya rakyat gumunan dan tertambat hatinya pada pejabat yang "beraksi" hanya dengan verbalistis penuh gaya, lantas serta merta yang bersangkutan dianggap sebagian warga (dengan bantuan media massa tentunya) di gadang-gadang sebagai calon Pemimpin. Padahal, sosok pemimpin bangsa itu mesti tokoh yang dapat dijadikan panutan, tidak hanya berkualitas dalam menunjukkan hasil kerjanya yang mewujud (the what) dan proses meraihnya (the how) tetapi lebih penting dari itu adalah kualitas pribadi sang tokoh.


Penulis adalah mantan Ketua Umum Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam Himpunan Mahasiswa Islam (LDMI HMI) Cabang Ambon Periode 2000-2001. Direktur Eksekutif Lembaga Analisa Pengembangan Demokrasi (LAPD)