Oleh : Adam Rumbaru
Esensi terpenting dari pendidikan politik ( political
education) adalah pendidikan kewarganegaraan
(civic education) untuk mengetahui tugas dan tanggung jawab sebagai warga negara
atau lebih tepat lagi disebut pendidikan politik adalah pendidikan demokrasi ( democracy education), pendidikan
yang mewujudkan masyarakat demokratis, yaitu masyarakat yang bebas (free
society) yang hanya dibatasi oleh kebebasan itu sendiri, bukan masyarakat kolektivisme
yang “terpasung” oleh atribut-atribut agama atau norma-norma budaya. Dalam
kontek inilah diharapkan pendidikan politik mampu melahirkan budaya politik
yang sehat, yang hingga pada akhirnya berhasil mewujudkan masyarakat demokratis
yang bebas dari bias apapun.
Politik yang sehat tentu menjadi syarat utama dalam
menghasilkan masyarakat demokratis tersebut. Sebab, tanpa berjalannya politik
yang sehat maka tentu masyarakat demokratis atau demokrasi itu sendiri
kehilangan arahnya sehingga muncullah kebebasan yang tidak terkontrol, yang
pada akhirnya mencederai demokrasi itu sendiri. Di sini lah sebenarnya
relevansinya pendidikan politik sebagai upaya penguatan terwujudnya masyarakat
demokratis, tentu melihat ini dalam konteks demokrasi kita yang berjalan merupakan
sebuah keniscayaan dalam upaya mereorientasi pendidikan politik yang telah atau
sedang berlangsung.
Pendidikan politik memiliki peran yang vital dan strategis
bagi kelangsungan hidup serta regenerasi suatu organisasi politik. Melalui proses
pendidikan politik anggota suatu organisasi dan warga negara pada umumnya kemungkinan memiliki sikap yang idealis
di satu sisi bersikap mendukung negara-pemerintah yang sesuai dengan aspirasi
rakyat serta pada waktu yang sama juga memungkinkan memiliki sikap kritis
kepada kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat.
Penegasan tentang urgensi pendidikan politik (political
education) dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan politik merupakan
penanaman nilai-nilai kebaikan, pengetahuan dan ketrampilan yang merupakan
keniscayaan untuk dapat melakukan partisipasi politik menjadi kewajiban moral
utama dari berbagai tujuan pendidikan publik dalam masyarakat demokratis.
Pendidikan politik menyiapkan warga negara untuk terlibat menghasilkan kesadaran
masyarakat mereka dan kesadaran untuk reproduksi sosial yang ideal bukan hanya
sekedar pendidikan demokrasi tetapi juga demokrasi politik.
Terminologi pendidikan politik sering dibedakan dengan
sosialisasi politik. Oleh karena itu kiranya penting diketengahkan terlebih
dahulu pengertian pendidikan politik. Disamping political education dikenal
juga terminology lain perlu diklarifikasi, yakni term political socialization
dan political education adalah merupakan term yang berbeda.sosialisasi politik berkaitan
dengan suatu proses dengan cara itu rakyat belajar mengambil norma-norma,
nilai-nilai, sikap dan menerima tingkalaku dan prakteknya melalui sistem yang
sedang berlaku, sosialisasi politik merujuk pada penguasaan individu-individu
tentang budaya politik atau norma-norma untuk mengelola kewenangan
mendistribusikan keuntungan dan kerugian. Tujuan yang dituju melalui proses
tersebut adalah perkembangan individu-individu yang dapat menerima
motivasi-motivasi, kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai yang relevan dengan
sitem politik dari masyarakat mereka dan mewariskan norma-norma tersebut pada
generasi penerusnya.
Perbedaan makna antara potical socialization dan political education
sebagaimana dikemukakan di atas memiliki implikasi pengembangan kurikulum dan
desain pembelajaran, letak perbedaannya adalah bahwa mahasiswa yang mempelajari
sosialisasi politik memiliki perhatian utama berkaitan dengan persoalan
pemeliharaan system politik, terkait dengan pewarisan politik, mereka
mempertanyakan bagaimana individu-individu belajar untuk mendukung status quo
sosial politik. Pendidikan politik memiliki perhatian yang
lebih luas.
Potret politik Indonesia di era reformasi banyak nama calon
pemimpin disebut dan bahkan mengikuti pemilihan umum. Dari sisi politik yang
demokratis tentu fenomena ini menarik perhatian yang tidak kita temukan masa
orde baru dahulu. Namun, sayangnya, masyarakat kita sangat mudah terhipnotis
dengan pesona gaya dari pada kualitas sang calon yang digadang-gadang itu.
Dalam situasi seperti ini apabila ada pejabat kita yang
"menang gaya" dan diliput luas media massa maka dengan mudah beliau
ini mendapat simpati rakyat serta dengan sangat mudahnya sang pejabat ini akan
didapuk oleh publik untuk dijadikan calon pemimpin berikutnya. Situasi seperti
ini sungguh "berbahaya" bagi bangsa ini dalam memperoleh calon
pemimpin bangsa yang berkualitas.
Kita menyaksikan sendiri betapa mudahnya rakyat gumunan dan
tertambat hatinya pada pejabat yang "beraksi" hanya dengan
verbalistis penuh gaya, lantas serta merta yang bersangkutan dianggap sebagian
warga (dengan bantuan media massa tentunya) di gadang-gadang sebagai calon
Pemimpin. Padahal, sosok pemimpin bangsa itu mesti tokoh yang dapat dijadikan
panutan, tidak hanya berkualitas dalam menunjukkan hasil kerjanya yang mewujud
(the what) dan proses meraihnya (the how) tetapi lebih penting dari itu adalah
kualitas pribadi sang tokoh.
Penulis adalah mantan Ketua Umum
Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam Himpunan Mahasiswa Islam (LDMI HMI) Cabang Ambon
Periode 2000-2001. Direktur Eksekutif Lembaga Analisa Pengembangan Demokrasi
(LAPD)